FIQIH WARIS PRAKTIS | Download PowerPoint
fiqihsunah.com - Kembali mempelajari FIQIH WARIS, karena ternyata ilmu ini yang akan pertama kali dicabut, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rasulullah shalahu’alaihi wasallam, Pelajarilah ilmu faroidh (waris), dan ajarkanlah ilmu itu, karena sesungguhnya ilmu faroidh itu separuh ilmu, dan ilmu faroidh itu akan dilupakan. Ilmu itulah yang pertama kali akan tercabut dari umatku. (H.R.Ibnu Majah).
Mempelajari ilmu mawaris di masa sekarang ini bisa menjadi bentuk nyata dari langkah penegakan salah satu pondasi dan tiang bangunan syariah Islam yang sedang diperjuangkan umat.
Kalau banyak kalangan menyerukan penegakan syariat Islam lewat berbagai macam jalur, baik lewat jalur inside atau pun outside, maka mengajarkan ilmu mawaris ini justru merupakan langkah yang nyata dari penegakan syariat Islam, dengan dua jalur sekaligus, yaitu inside dan outside.
Bagaimana hal itu terjadi?
Langkahnya sederhana saja dan tidak perlu terlalu tegang atau pun bikin gaduh untuk menegakkan syriat Islam di negeri Indonesia ini. Logikanya, kalau tiap-tiap individu, orang tua, atau keluarga dari umat Islam ini bukan hanya mengerjakan shalat 17 rakaat dalam sehari semalam, tetapi bersamaan dengan itu juga ikut mengaji dan belajar ilmu-ilmu syariah yang sesungguhnya sangat akrab dengan kita, tentu pada satu titik tertentu kita akan mendapatkan hasil berupa generasi penerus yang akan tumbuh dewasa dengan hasil cetakan yang baik di dalam kepala mereka.
Ketahuilah bahwa munculnya kalangan yang anti dengan syariat Islam, padahal mereka sendiri beragama Islam, karena terjadi ketimpangan dan kesalahan fatal sejak awal. Dan yang paling bertanggung-jawab dengan kesalahan itu bukan siapa-siapa, tetapi kita sendiri.
Kita tidak pernah mengajarkan syariat Islam kepada anak-anak kita sejak mereka masih kecil. Kita hanya sibuk menjejalkan kepala mereka dengan ilmu-ilmu eksak, yang sama sekali tidak pernah menyentuh ajaran Islam. Padahal ilmu mawaris itu beririsan besar dengan matematika.
Tidak sedikit orang tua yang cemas kalau melihat raport anaknya merah pada pelajaran Matematika. Sehingga akhirnya dengan susah payah anak-anak itu diwajibkan ikut berbagai macam les, kursus, atau pelajaran tambahan. Tetapi ketika anak-anak itu tidak tahu bagaimana cara membagi harta waris, belum pernah ada yang merasa cemas.
Dan kebodohan atas ilmu mawaris itu tetap dipelihara sampai tua, sampai jadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Bodoh dalam arti tidak tahu dan juga seringkali lebih parah, karena bentuknya adalah penolakan, resistensi, antipati dan membenci.
Kalangan yang antipati dengan hukum mawaris dalam syariah Islam itu adalah umat Islam, mereka mungkin tidak pernah tinggalkan shalat fardhu lima waktu, kadang dahinya hitam karena seringkali shalat malam. Juga selalu puasa Ramadhannya, bahkan mungkin puasa Senin Kamis tidak pernah putus.
Sayangnya, ketika bicara tentang hukum waris, yang dikemukakan justru sistem hukum waris dari Belanda yang pernah menjajah kita, atau hukum waris adat istiadat buatan nenek moyang.
Bukan apa-apa, karena yang mereka pelajari tidak lain dan tidak bukan memang hukum Belanda atau hukum adat. Sedangkan hukum Islam apalagi ilmu mawaris justru tidak pernah diajarkan. Kalau pun hukum Islam yang diajarkan, umumnya berhenti sampai pada masalah wudhu’, tayammum, mandi janabah, shalat, puasa, haji dan selesai.
Pantas saja kita selalu melahirkan kalangan yang anti dengan hukum-hukum mawaris yang telah diajarkan Rasulullah SAW, penyebabnya ternyata kita sendiri yang sangat tidak peduli.
Maka belajar dan mengajarkan ilmu mawaris saat ini bisa kita anggap sebagai bayar hutang atas kesalahan kita di mas lalu. Dan kalau nanti berhasil, sebenarnya kita tidak perlu berhadapan dengan kalangan yang anti dengan syariah Islam, khususnya yang anti terhadap hukum waris Islam. Sebab sejak kecil mereka sudah kita ajarkan alif-ba-ta ilmu hukum waris ini. Sejak mereka masih duduk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), yang saat ini cukup tersebar di berbagai masjid dan pengajian.
Kalau banyak kalangan menyerukan penegakan syariat Islam lewat berbagai macam jalur, baik lewat jalur inside atau pun outside, maka mengajarkan ilmu mawaris ini justru merupakan langkah yang nyata dari penegakan syariat Islam, dengan dua jalur sekaligus, yaitu inside dan outside.
Bagaimana hal itu terjadi?
Langkahnya sederhana saja dan tidak perlu terlalu tegang atau pun bikin gaduh untuk menegakkan syriat Islam di negeri Indonesia ini. Logikanya, kalau tiap-tiap individu, orang tua, atau keluarga dari umat Islam ini bukan hanya mengerjakan shalat 17 rakaat dalam sehari semalam, tetapi bersamaan dengan itu juga ikut mengaji dan belajar ilmu-ilmu syariah yang sesungguhnya sangat akrab dengan kita, tentu pada satu titik tertentu kita akan mendapatkan hasil berupa generasi penerus yang akan tumbuh dewasa dengan hasil cetakan yang baik di dalam kepala mereka.
Ketahuilah bahwa munculnya kalangan yang anti dengan syariat Islam, padahal mereka sendiri beragama Islam, karena terjadi ketimpangan dan kesalahan fatal sejak awal. Dan yang paling bertanggung-jawab dengan kesalahan itu bukan siapa-siapa, tetapi kita sendiri.
Kita tidak pernah mengajarkan syariat Islam kepada anak-anak kita sejak mereka masih kecil. Kita hanya sibuk menjejalkan kepala mereka dengan ilmu-ilmu eksak, yang sama sekali tidak pernah menyentuh ajaran Islam. Padahal ilmu mawaris itu beririsan besar dengan matematika.
Tidak sedikit orang tua yang cemas kalau melihat raport anaknya merah pada pelajaran Matematika. Sehingga akhirnya dengan susah payah anak-anak itu diwajibkan ikut berbagai macam les, kursus, atau pelajaran tambahan. Tetapi ketika anak-anak itu tidak tahu bagaimana cara membagi harta waris, belum pernah ada yang merasa cemas.
Dan kebodohan atas ilmu mawaris itu tetap dipelihara sampai tua, sampai jadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Bodoh dalam arti tidak tahu dan juga seringkali lebih parah, karena bentuknya adalah penolakan, resistensi, antipati dan membenci.
Kalangan yang antipati dengan hukum mawaris dalam syariah Islam itu adalah umat Islam, mereka mungkin tidak pernah tinggalkan shalat fardhu lima waktu, kadang dahinya hitam karena seringkali shalat malam. Juga selalu puasa Ramadhannya, bahkan mungkin puasa Senin Kamis tidak pernah putus.
Sayangnya, ketika bicara tentang hukum waris, yang dikemukakan justru sistem hukum waris dari Belanda yang pernah menjajah kita, atau hukum waris adat istiadat buatan nenek moyang.
Bukan apa-apa, karena yang mereka pelajari tidak lain dan tidak bukan memang hukum Belanda atau hukum adat. Sedangkan hukum Islam apalagi ilmu mawaris justru tidak pernah diajarkan. Kalau pun hukum Islam yang diajarkan, umumnya berhenti sampai pada masalah wudhu’, tayammum, mandi janabah, shalat, puasa, haji dan selesai.
Pantas saja kita selalu melahirkan kalangan yang anti dengan hukum-hukum mawaris yang telah diajarkan Rasulullah SAW, penyebabnya ternyata kita sendiri yang sangat tidak peduli.
Maka belajar dan mengajarkan ilmu mawaris saat ini bisa kita anggap sebagai bayar hutang atas kesalahan kita di mas lalu. Dan kalau nanti berhasil, sebenarnya kita tidak perlu berhadapan dengan kalangan yang anti dengan syariah Islam, khususnya yang anti terhadap hukum waris Islam. Sebab sejak kecil mereka sudah kita ajarkan alif-ba-ta ilmu hukum waris ini. Sejak mereka masih duduk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), yang saat ini cukup tersebar di berbagai masjid dan pengajian.
Pada kesempatan ini, izinkan kami redaksi fiqihsunah.com menyajikan FIQIH WARIS PRAKTIS silahkan di download materinya dilink yang kami sediakan. Semoga bermanfaat!
Link Download : KLIK DISINI
Daftar Isi Materi:
- Muqodimah
- Hadits urgensi ilmu waris
- Ayat waris dan kitab rujukan
- Waris dimasa jahiliyah
- Waris di indonesia
- Waris dimasa islam
- Rukun dan sebab warisan
- Syarat waris
- Ahli waris laki-laki
- Ahli waris perempuan
- Ahli waris yg tidak terhalang
- Jenis waris
- Ashabul furud
- Ashobah
- Penghalang dalam waris
- Bagan waris
- Contoh perhitugan waris
Sumber: http://referensimuslim.com
Admin: Kajian Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq - www.fiqihsunah.com